Menyalakan Literasi di Tengah Banjir Informasi
Oleh: M. Iqbal Tawakkal
Di sebuah kelas menulis yang saya
bimbing, seorang siswa bertanya, “Pak, apa gunanya membaca panjang-panjang
kalau jawabannya bisa dicari langsung di internet?” Pertanyaan itu menampar. Ia
menggambarkan kegelisahan zaman ini: ketika informasi melimpah, tapi kemampuan
memahami dan memaknainya kian merosot.
Indonesia masih menghadapi
darurat literasi. Hasil PISA 2022 menempatkan kita di peringkat 65 dari 81
negara dalam kemampuan membaca. Ini berarti, banyak siswa kesulitan menangkap
makna bacaan, membedakan fakta dan opini, apalagi menganalisis isi. Di tengah
era digital, ini bukan sekadar kelemahan akademik—melainkan ancaman serius bagi
kemampuan berpikir bangsa.
Namun, kita tidak bisa
semata-mata menyalahkan siswa. Akar masalahnya kompleks: budaya baca yang lemah
di rumah, kurikulum sekolah yang masih mengejar hafalan, serta akses bacaan
yang belum merata. Bahkan, di kota besar pun, waktu membaca sering tersisih
oleh scrolling media sosial.
Lantas, apakah semua sudah gelap?
Tidak. Masih ada cahaya yang bisa kita nyalakan.
Budaya literasi bisa tumbuh dari
langkah-langkah kecil. Seorang guru yang memberi ruang diskusi terbuka, orang
tua yang membacakan dongeng, atau pemuda desa yang membuka pojok baca
sederhana. Kampus pun punya peran penting: bukan hanya mengajar teori, tapi
juga menumbuhkan keberanian berpikir kritis dan menulis reflektif.
Teknologi pun bisa jadi teman.
Aplikasi seperti iPusnas dan kanal literasi digital dapat menjadi jembatan
akses bacaan, jika digunakan secara tepat. Tapi ingat, literasi bukan hanya
soal akses, melainkan juga soal pendampingan dan keteladanan.
Literasi bukan tanggung jawab
satu pihak. Ia adalah kerja bersama: rumah sebagai akar, sekolah sebagai
batang, dan masyarakat sebagai kanopi yang melindungi. Jika kita mampu
membangun ekosistem ini, harapan masih sangat terbuka.
Mari kita tidak hanya mengajar
anak membaca, tetapi juga berpikir. Bukan hanya mengenal huruf, tetapi memahami
makna dan menyuarakan pendapat dengan beradab.
Menyalakan literasi berarti
menyalakan masa depan.
Di tengah banjir, literasi terhadap banjir juga harus tetap digaungkan
BalasHapus